Sebaliknya, banyak serangga adalah berbahaya atau
sebagai perusak. Mereka menyerang berbagai tumbuh-tumbuhan yang sedang tumbuh,
termasuk tanaman yang bernilai bagi manusia dan makan tumbuh-tumbuhan tersebut.
Serangga menyerang harta benda manusia, termasuk rumah-rumah, pakaian,
persediaan makanan, menghancurkan, merusak dan mencemarinya. Mereka menyerang
manusia dan hewan, banyak serangga adalah agen-agen dalam penularan berbagai
penyakit.
Kebanyakan spesies serangga bermanfaat bagi manusia.
Sebanyak 1.413.000 spesies telah berhasil diidentifikasi dan dikenal, lebih
dari 7.000 spesies baru di temukan hampir setiap tahun. Karena alasan ini
membuat serangga berhasil dalam mempertahankan keberlangsungan hidupnya pada
habitat yang bervariasi, kapasitas reproduksi yang tinggi, kemempuan memakan jenis
makanan yang berbeda, dan kemampuan menyelamatkan diri dari musuhnya (Borror
1998).
Serangga memegang peranan penting dalam kehidupan
manusia. Bila mendengar nama serangga, maka selalu diidentikkan dengan hama di bidang
pertanian, disebabkan banyak serangga yang bersifat merugikan, seperti walang sangit, wereng, ulat grayak,
dan lainnya. Serangga dapat merusak tanaman sebagai hama dan sumber vektor
penyakit pada manusia. Namun, tidak semua serangga bersifat sebagai hama atau vector
penyakit. Kebanyakan serangga juga sangat diperlukan dan berguna bagi manusia.
Serangga dari kelompok lebah, belalang, jangkrik, ulat sutera, kumbang, semut
membantu manusia dalam proses penyerbukan tanaman
dan
menghasilkan produk makanan kesehatan (Metcalfe & William 1975).
Serangga juga sangat berperan dalam menjaga daur
hidup rantai dan jaring-jaring makanan di suatu ekosistem. Sebagai contoh
apabila benthos (larva serangga yang hidup di perairan) jumlahnya sedikit,
secara langsung akan mempengaruhi kehidupan ikan dan komunitas hidup organisme
lainnya di suatu ekosistem Sungai atau Danau. Di bidang pertanian, apabila
serangga penyerbuk tidak ditemukan maka keberhasilan proses penyerbukan akan
terhambat.
BIODIVERSITAS
Kata
biodiversitas pertama kali digunakan
sebagai bio diversitas yang merupakan singkatan dari diversitas biologi
atau keanekaragaman hayati digunakan tahun 1986 (Wilson, 1997). Keanekaragaman merupakan kata yang tepat untuk
menggambarkan keadaan bermacam-macam suatu benda yang dapat terjadi akibat
adanya perbedaan dalam hal ukuran, bentuk, tekstur danlainnya. Pada dasarnya
semua makhluk hidup memiliki keanekaragaman. Keanekaragaman makhlukhidup dapat
terlihat dengan adanya persamaan ciri antar makhluk hidup. Keanekaragaman ada
yang terjadi secara alami dan ada juga yang terjadi secara buatan.
Keanekaragaman alami merupakankeanekaragaman yang terjadi akibat adaptasi atau
penyesuaian diri setiap individu dengan ligkungannya.
Keanekaragaman hewan menunjukkan berbagai variasi dalam
bentuk, struktur tubuh, warna, jumlah, dan sifat lainnya di suatu daerah.
Sumber alam hayati merupakan bagian dari mata rantai tatanan lingkungan hidup,
yang menjadikan lingkungan ini hidup dan mampu menghidupkan manusia dari
generasi ke generasi. Banyak hewan sebagai produksi pangan, sandang, bahan
industri dan tenaga pengangkut dan bahan hiasan. Kita patut bersyukur kepada
kepada Tuhan, karena alam semesta ini diserahkan kepada manusia untuk diambil
hikmahnya, diolah, dimanfaatkan secara lestari keberadaannya, baik secara In
Situ maupun Ex Situ.
Keanekaragaman spesies dapat digunakan untuk menyatakan
struktur komunitas. Ukuran keanekaragaman dan penyebabnya mencakup
sebagian besar pemikiran tentang ekologi. Hal itu terutama karena
keanekaragaman dapat menghasilkan kestabilan dan dengan demikian berhubungan
dengan sentral ekologi.
Konsep komunitas adalah suatu prinsip ekologi yang penting
yang menekan keteraturan yang ada dalam keragaman organisme hidup dalam habitat
apapun. Suatu komunitas bukan hanya merupakan pengelompokan secara serampangan
hewan dan tumbuhan yang hidup secara mandiri satu sama lain namun mengandung
komposisi kekhasan taksonomi, dengan pola hubungan tropik dan metabolik yang
tertentu. Konsep komunitas sangatlah penting dalam penerapan praktis
prinsip-prinsip ekologi karena cara terbaik untuk mendorong atau membasmi
pertumbuhan suatu organisme adalah memodifikasi komunitas dan bukannnya
menanganinya secara langsung. Diantara banyak organisme yang membentuk suatu
komunitas, hanya beberapa spesies atau grup yang memperlihatkan pengendalian
yang nyata dalam memfungsikan keseluruhan komunitas. Kepentingan relatif dari
oganisme dalam suatu komunitas tidak ditentukan oleh posisi taksonominya namun
oleh jumlh, ukuran, poduksi dan hubungan lainnya (Michael, 1990).
Komunitas diberi nama dan digolongkan menurut spesies atau
bentuk hidup yang dominan, habitat fisik atau kekhasan fungsional. Analisis
komunitas dapat dilakukan dalam setiap lokasi tertentu berdasakan pada
pembedaan zona atau gradien yang terdapat dalam daerah tersebut. Umumnya
semakin curam gradien lingkungan, makin beragam komunitasnya karena batas yang
tajam terbentuk oleh perubahan yang mendadak dalam sifat fisik lingkungan.
Angka perbandingan antara jumlah spesies dan jumlah total individu dalam suatu
komunitas dinyatakan sebagai keragaman spesies. Ini berkaitan dengan kestabilan
lingkungan dan beragam dengan komunitas berbeda. Keragaman sangatlah penting
dalam menentukan batas kerusakan yang dilakukan terhadap sistem alam oleh turut
campurnya manusia (Michael, 1990).
Suatu populasi memiliki kekhasan yang tidak dimiliki oleh
individu-individu yang membangun populasi tesebut. Kekhasan dasar suatu
populasi yang menarik bagi seorang ekolog adalah ukuran dan rapatannya. Jumlah
individu dalam populasi mencirikan ukurannya dan jumlah individu populasi dalam
suatu daerah atau satuan volume adalah rapatannya. Kelahiran (Natalitas), kematian
(mortalitas), yang masuk (imigrasi), dan yang keluar (emigrasi) dari anggota
mempengaruhi ukuran dan rapatan populasi. Kekhasan lain dari populasi yang
penting dari segi ekologi adalah keragaman morfologi dalam suatu populasi alam
sebaan umur, komposisi genetik dan penyebaran individu dalam populasi (Odum,
1993). Keanekaragaman hayati yang ada pada ekosistem pertanian seperti
persawahan dapat mempengaruhipertumbuhan dan produksi tanaman, yaitu dalam
sistem perputaran nutrisi, perubahan iklim mikro, dan detoksifikasi senyawa
kimia. Serangga sebagai salah satu komponen keanekaragaman hayati juga memiliki
peranan penting dalam jaring makanan yaitu sebagai herbivor, karnivor, dan
detrivor (Bayu, 2011).
BIODIVERSITAS
SERANGGA
Serangga adalah kelompok utama dari hewan beruas (Arthropoda) yang bertungkai enam (tiga pasang), karena itulah
mereka disebut pula Hexapoda (dari bahasa Yunani yang berarti berkaki enam). Kajian mengenai kehidupan
serangga disebut entomologi. Serangga termasuk dalam kelas insekta (subfilum Uniramia)
yang dibagi lagi menjadi 29 ordo.
Data diversitas
serangga yang telah ditemukan. Lebih dari
800.000 spesies insekta sudah ditemukan. Terdapat
5.000 spesies bangsa capung (Odonata), 20.000 spesies bangsa belalang (Orthoptera), 170.000 spesies bangsa kupu-kupu dan ngengat (Lepidoptera), 120.000 bangsa lalat dan kerabatnya (Diptera), 82.000 spesies bangsa kepik (Hemiptera), 360.000 spesies bangsa kumbang (Coleoptera), dan 110.000 spesies bangsa semut dan lebah (Hymenoptera).
1.
Ordo Lepidoptera ketika fase larva memiliki tipe
mulut pengunyah, sedangkan ketika imago memiliki tipe mulut penghisap. Adapun
habitat dapat dijumpai di pepohonan.
2.
Ordo Collembola memiliki ciri khas yaitu memiliki
collophore, bagian yang mirip tabung yang terdapat pada bagian ventral di sisi
pertama segmen abdomen. Ada beberapa dari jenis ini yang merupakan karnivora
dan penghisap cairan. Umumnya Collembolla merupakan scavenger yang memakan
sayuran dan jamur yang busuk, serta bakteri, selain itu ada dari jenis ini yang
memakan feses Artropoda, serbuk sari, ganggang, dan material lainnya.
3.
Ordo Coleoptera memliki tipe mulut pengunyah dan
termasuk herbivore. Habitatnya adalah di permukaan tanah, dengan membuat
lubang, selain itu juga membuat lubang pada kulit pohon, dan ada beberapa yang
membuat sarang pada dedaunan .
4.
Ordo Othoptera termasuk herbivora, namun ada
beberapa spesies sebagai predator. Tipe mulut dari ordo ini adalah
tipe pengunyah. Ciri khas yang dapat dijumpai yaitu sayap depan le bih keras
dari sayap belakang.
5.
Ordo Dermaptera mempunyai sepasang antenna,
tubuhnya bersegmen terdiri atas toraks dan abdomen. Abdomennya terdapat bagian
seperti garpu. Ordo Diplura memiliki mata majemuk, tidak terdapat ocelli, dan
tarsinya terdiri atas satu segmen. Habitatnya di daerah terrestrial, dapat
ditemukan di bawah batu, di atas tanah, tumpukan kayu, di perakaran pohon, dan
di gua. Ordo ini merupakan pemakan humus.
6.
Ordo Hemiptera memiliki tipe mulut penusuk dan
penghisap. Ada beberapa yang menghisap darah dan sebagian sebagai penghisap
cairan pada tumbuhan. Sebagian besar bersifat parasit bagi hewan, tumbuhan,
maupun manusia. Ordo ini banyak ditemukan di bagian bunga dan daun dari
tumbuhan, kulit pohon, serta pada jamur yang busuk.
7.
Ordo Odonata memiliki tipe mulut pengunyah. Umumnya
Ordo ini termasuk karnivora yang memakan serangga kecil dan sebagian bersifat kanibal atau suka memakan sejenis. Habitatnya adalah di dekat
perairan. Biasanya ditemukan di sekitar air terjun, di sekitar danau, dan pada
daerah bebatuan.
8.
Sub kelas Diplopoda memiliki ciri tubuh yang panjang
seperti cacing dengan beberapa kaki, beberapa memiliki kaki berjumlah tiga puluh
atau lebih, dan segmen tubuhnya menopang dua bagian dari tubuhnya. Hewan jenis
ini memiliki kepala cembung dengan daerah epistoma yang besar dan datar pada
bagian bawahnya.
Habitatnya adalah di lingkungan yang basah, seperti di bawah
bebatuan, menempel pada lumut, di perakaran pohon, dan di dalam tanah. Tipe mulutnya
adalah pengunyah. Beberapa dari jenis ini merupakan scavenger dan memakan
tumbuhan yang busuk, selain itu ada beberapa yang merupakan hama bagi tanaman.
PARAMETER
DAN RUMUS KEANEKARAGAMAN
Pada suatu tempat atau area tertentu terdapat berbagai macam
spesies serangga yang hidup atau yang menempati, untuk mengetahui
keanekaragaman serangga yang hidup di area tertentu maka dapat mengunakan
perhitungan menggunakan rumus Shanon Wiener (H’) dan Indeks Dominansi (D).
Indeks
Dominansi
D
= ∑ (ni/N)2
keterangan : D : Indeks Domonansi Simpson
ni : Jumlah Individu
tiap spesies
N : Jumlah Individu
seluruh spesies
Indeks
Shanon Wienet (H’)
H’
= -∑ pi log pi keterangan : H’ : Indeks
Keanekaragaman Shanon Wiener
pi = ni/N = Kelimpahan relative
spesies
Diantara
banyak organisme yang membentuk suatu komunitas, hanya spesies atau grup yang
memperlihatkan pengendalian yang nyata dalam memfungsikan keseluruhan
komunitas. Kepentingan relatif dari organisme dalam suatu komunitas tidak
ditentukan oleh posisitaksonominya tetapi jumlah, ukuran, produksi dan hubungan
lainnya. Tingkat kepentingan suatu spesies biasanya dinyatakan oleh indeks
keunggulannya (dominansi). Komunitas diberi nama dan digolongkan menurut
spesies atau bentuk hidup yang dominan, habitat fisik, atau kekhasan
fungsional. Analisis komunitas dapat dilakukan dalam setiap lokasi tertentu
berdasarkan pada pembedaan zone atau gradien yang terdapat dalam daerah tersebut.
Umumnya semakin curam gradien lingkungan, makin beragam komunitas karena batas
yang tajam terbentuk oleh perbahan yang mendadak dalam sifat fisika lingkungan.
Angka banding antara jumlah spesies an jumlah total individu dalam suatu
komunitas dinyatakan sebagai keanekaragaman spesies. Ini berkaitan dengan
kestabilan lingkungan dan beragam komunitas berbeda (Wolf, 1992).
KARAKTERISTIK
SERANGGA
Karakteristik Morfologi
Umumya tubuh serangga terbagi atas 3 ruas utama
tubuh (caput, torak, dan abdomen). Morfologi Serangga pada bagian kepala,
terdapat mulut, antena, mata majemuk
(faset) dan mata tunggal (ocelli). Pada bagian torak, ditemukan tungkai 3
pasang dan spirakel. Sedangkan di bagian abdomen dapat dilihat membran
timpanum, spirakel, dan alat kelamin (Arnest dkk 1981)
Pada bagian depan (frontal) apabila dilihat dari
samping (lateral) dapat ditentukan letak frons, clypeus, vertex, gena, occiput,
alat mulut, mata majemuk, mata tunggal (ocelli), postgena, dan antenna Sedangkan
toraks terdiri dari protorak, mesotorak, dan metatorak dan embelan-embelannya.
Dibagian ini ditemukan letak tungkai dengan ruasruasnya seperti coxa,
throchanter, femur, tibia, tarsus dan pretarsus. Sayap dengan letak pembuluh
membujur dan melintang, notum pleuron, sternum, pescutum, scutum, dan
postscutellum.
Abdomen serangga berruas-ruasnya dengan
embelan-embelan, serta alat kelamin. Letak tergum, pleural membran, sternum,
spirakel, epiproct, cercus, paraproct, valvula 1,2,3 dan valviler 1 & 2 dan
ovipositor dapat dengan mudah terlihat dan ditentukan pada belalang (Valanga
nigricornis sp).
Karakteristik
Populasi Serangga
Populasi adalah sekelompok individu dari satu spesies yang
sama berada pada tempat dan waktu tertentu (Jarvis,2000). Odum (1998)
mendefisikan populasi sebagai kelompok kolektif organisme-organisme dari
sepesies yang sama (atau kelompok-kelompok lain dimana individu-individu dapat
bertukar informasi genetiknya) yang menduduki ruang atau tempat tertentu,
memiliki atau sifat yang merupakan milik kelompok dan bukan merupakan sifat
milik indifidu didalam kelompok itu.Smith (2006) menyatakan bahwa definisi
populasi mempunyai dua ciri yang spesifik. Pertama,populasi merupakan kumpulan
indifidu-indifidu yang sama. Definisi
tersebut menunjukkan kemampuan untuk melakukan perkawinan antara anggota
populasi, kedua, populasi adalah suatu konsep ruang, sehingga memerlukan batas
wilayah. Jarvis (2000) menambahkan bahwa perlu dipertimabanggkan wilayah
tersebut, mungkin luas atau sempit dan jelas atau tidak jelas untuk didefinisikan.
Batas populasi lebih mudah didefinisikan dibandingkan
kenyataannya di lapangan dan pada spesies yang berpindah-pindah, sangat sulit
untuk menentukan batas wilayah yang spesifik (Suheryanto, 2008).
Sekumpulan
dari populasi lokal yang berinteraksi dalam wilayah yang luas akan membentuk
metapopulasi (Smith dan Smith, 2006). Menurut Jarvis (2000),metapopulasi adalah
kelompok populasi dari suatu populasi, yang akan terbentuk pada saat ada
banyak atau sedikit populasi terpisah, tetapi masih mempunyai tingkat penyebaran
dan perkawinan yang sama. Populasi mempunyai karakteristik biologi dan
karakteristik kelompok. Karakteristik biologi merupakan sifat yang dimiliki
oleh individu-individu menyusun populasi tersebut. Karakteristik biologi yang
terdapat di populasi adalah pertahann diri (kemampuan keturunan yang
ditinggalkan untuk bertahan dalam jangka waktu lama), struktur organisasi
(adanya pembagian kerja dan stratifikasi kasta) dan sejarah hidup (tumbuh dan
berkembang).
Karakteristik kelompok timbul sebagai akibat dari aktifitas
kelompok, yang termasuk karakteristik kelompok adalah densitas (kepadatan),
natalitas (laju kelahiran), mortalitas (laju kematian) dan dipersi. Populasi memliki dua atribut, yaitu atribut
biologik dan atribut kelompok. Yang termasuk atribut biologik ialah sejarah
hidup, bertumbuh, berdiferensiasi,mempertahankan dirinya dan memiliki
organisasi tertentu. Atribut-atribut ini juga dimiliki oleh individu dari
populasi itu. Atribut-atribut kelompok
adalah kepadatan, pertumbuhan dan daya dukung, natalitas (angka kelahiran),
mortalitas (angka kematian), sebaran umur, potensi biotik dan dispersi dan
bentuk pertumbuhan, atribut-atribut kelompok ini tidak dimiliki oleh
individu-individunya (Oka, 2005).Yang lebih penting untuk diketahui dari kepadatan
atribut kelompok ialah apakah suatu populasi bertambah atau berkurang
jumlahnya, jadi kepadatannya berubah, dalam saat- saat tertentu. Perubahan
kepadatan suatu populasi dapat terjadi karena ada angka kelahiran
(individu-individunya beranak), angka kematian
(sejumlah individu tua atau sakit, dimangsa musuhnya dan lain-lain), atau
terjadi suatu imigrasi (sejumlah populasi dari lain tempat bergabung dengan
populasi tersebut), atau dan sejumlah individu yang berimigrasi ke lain tempat.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEHIDUPAN
SERANGGA
Faktor Dalam
Faktor
dalam yang mempengaruhi daya tahan serangga untuk dapat tetap hidup dan
berkembang biak antara lain adalah :
a.
Kemampuan berkembang biak
Kemampuan berkembang biak suatu jenis serangga dipengaruhi
oleh kecepatan berkembang biak, keperidian dan fekunditas (Natawigena, 1990).
Keperidian (natalitas) adalah besarnya kemampuan jenis serangga untuk
melahirkan keturunan baru. Serangga umumnya memiliki keperidian yang cukup
tinggi . Semakin kecil ukuran serangga, biasanya semakin besar keperidiannya.
Sedangkan fekunditas (kesuburan) adalah kemampuan yang dimiliki oleh seekor
betina untuk memproduksi telur. Lebih banyak jumlah telur yang dihasilkan, maka
lebih tinggi kemampuan berkembang biaknya. Kecepatan berkembang biak dari sejak
terjadinya telur sampai menjadi dewasa yang siap berkembang biak, tergantung
dari lamanya siklus hidup serangga. Serangga yang memiliki siklus hidupnya
pendek, akan memiliki frekuensi bertelur yang lebih tinggi atau lebih sering
dibandingkan dengan serangga lainnya yang memiliki siklus hidup lebih lama
(Natawigena, 1990).
b.
Perbandingan kelamin
Perbandingan jenis kelamin antara jumlah serangga jantan dan
betina yang diturunkan serangga betina kadang-kadang berbeda, misalnya antara
jenis betina dan jenis jantan dari keturunan penggerek batang
(Tryporyza) adalah dua berbanding satu, lebih banyak jenis
betinanya. Suatu perbandingan yang menunjukkan jumlah betina lebih besar dari
jumlah jantan, diharapkan akan meghasilkan populasi keturunan berikutnya yang
lebih besar, bila dibandingkan dengan suatu populasi yang memiliki perbandingan
yang menunjukkan jumlah jantan yang lebih besar dari pada jumlah betina.
Perbedaan jenis kelamin ini dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan,
diantaranya keadaan musim dan kepadatan populasi. Seandainya populasinya
menjadi lebih padat, maka akan lahir jenis betina-betina yang bersayap,
sehingga dapat menyebar dan berkembang biak di tempat-tempat yang baru. Pada
musim panas, telur-telur betina hasil pembiakan secara parthenogenesis
akan menghasilkan individu-individu jenis jantan maupun jenis betina, yang
selanjutnya menghasilkan telur-telur yang dibuahi (Natawigana, 1990).
c.
Sifat mempertahankan diri
Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, serangga memiliki
alat atau kemampuan untuk melindungi diri dari serangan musuhnya. Misalnya ulat
melindungi diri dengan bulu atau selubungnya. Bebarapa spesies serangga dapat
mengeluarkan racun atau bau untuk menghindari serangga musuhnya, atau memiliki
alat penusuk untuk membunuh lawan atau mangsanya. Kebanyakan serangga akan
berusaha menghindar atau meloloskan diri bila terganggu atau diserang musuhnya
dengan cara terbang, lari, meloncat, berenang atau menyelam.
Beberapa perlindungan serangga untuk melawan musuhnya adalah
: a) Kamuflase (penyamaran), digunakan serangga berbaur pada lingkungan mereka
agar terhindar dari pendeteksian pemangsa, seperti menyerupai ranting atau daun
tanaman, b) Taktik menakuti musuh, yaitu serangga tertentu mampu mengelabui
musuh dengan cara meniru spesies serangga lain agar terhindar dari pemangsanya,
yang dikenal dengan istilah serangga mimikri. Cara meniru serangga mimikri
terhadap serangga lain, misalnya perilaku, ukuran tubuh, maupun bentuk pola
warna, c) Pengeluaran senyawa kimia dan alat penusuk (penyengat) adalah
kemampuan serangga mengeluarkan senyawa kimia beracun atau bau untuk
menghindari serangan musuhnya. Terdapat alat penusuk pada serangga digunakan
untuk menyengat atau membunuh lawan/ mangsanya. (Natawigena, 1990).
d.
Daur hidup
Daur hidup adalah waktu yang dibutuhkan semenjak terjadinya
telur sampai serangga menjadi dewasa yang siap untuk berkembang biak. Daur
hidup serangga umumnya pendek. Serangga yang memiliki daur hidup yang pendek,
akan memiliki frekwensi bertelur yang lebih tinggi atau lebih sering, bila
dibandingkan dengan serangga lainnya yang memiliki daur hidup lebih lama
(Natawigena, 1990).
e. Umur imago (serangga
dewasa)
Pada umumnya
imago dari seekor serangga berumur pendek, misalnya ngengat (imago) Tryporyza
innotata berumur antara 4 – 14 hari. Umur imago yang
lebih lama, misalnya kumbang betina Sitophilus oryzae umurnya dapat
mencapai antara 3 – 5 bulan, sehingga akan mempunyai kesempatan untuk bertelur
lebih sering (Natawigena, 1990).
Faktor Luar
Faktor luar yang dapat
mempengaruhi kehidupan serangga untuk bertahan hidup dan berkembang biak, yaitu
:
Faktor fisis
a.
Suhu / Temperatur
Setiap spesies serangga mempunyai jangkauan suhu
masing-masing dimana ia dapat hidup, dan pada umunya jangkauan suhu yang
efektif adalah suhu minimum. Serangga memiliki kisaran suhu tertentu untuk kehidupannya.
Diluar kisaran suhu tersebut serangga dapat mengalami kematian. Efek ini
terlihat pada proses fisiologis serangga, dimana pada suhu tertentu aktivitas
serangga tinggi dan akan berkurang (menurun) pada suhu yang lain (Ross, et al.,
1982;Krebs, 1985). Umumnya kisaran suhu yang efektif adalah 15ºC (suhu
minimum), 25ºC suhu optimum dan 45ºC (suhu maksimum). Pada suhu yang optimum
kemampuan serangga untuk melahirkan keturunan besar dan kematian (mortalitas)
sebelum batas umur akan sedikit (Natawigena, 1990).
b.
Kelembaban Hujan
Air merupakan kebutuhan yang mutlak diperlukan bagi mahluk
hidup termasuk serangga. Namun kebanyakan air, seperti banjir dan hujan lebat
merupakan bahaya bagi kehidupan beberapa jenis serangga, termasuk juga berbagai
jenis kupu-kupu yang sedang beterbangan, serta dapat menghanyutkan larva yang
baru menetas. (Natawigena, 1990).
Umumnya serangga memperoleh air melalui makanan yang mengandung air. Secara langsung biasanya serangga tidak terpengaruh oleh curah hujan normal, namun hujan yang lebat secara fisik akan menekan populasi serangga. Curah hujan juga memberikan efek secara tidak langsung terhadap kelembaban suatu lahan, , kelembaban di udara, dan tersedianya tanaman sebagai makanan serangga. Seperti halnya suhu, serangga membutuhkan kelembaban tertentu/sesuai bagi perkembangannya. Pada umumnya serangga membutuhkan kelembaban tinggi bagi tubuhnya yang dapat diperoleh langsung melalui udara dan tanaman yang mengandung air (Krebs, 1985).
Umumnya serangga memperoleh air melalui makanan yang mengandung air. Secara langsung biasanya serangga tidak terpengaruh oleh curah hujan normal, namun hujan yang lebat secara fisik akan menekan populasi serangga. Curah hujan juga memberikan efek secara tidak langsung terhadap kelembaban suatu lahan, , kelembaban di udara, dan tersedianya tanaman sebagai makanan serangga. Seperti halnya suhu, serangga membutuhkan kelembaban tertentu/sesuai bagi perkembangannya. Pada umumnya serangga membutuhkan kelembaban tinggi bagi tubuhnya yang dapat diperoleh langsung melalui udara dan tanaman yang mengandung air (Krebs, 1985).
c.
Cahaya, Warna dan Bau
Cahaya adalah faktor ekologi yang besar pengaruhnya bagi
serangga, diantaranya lamanya hidup, cara bertelur, dan berubahnya arah
terbang. Banyak jenis serangga yang memilki reaksi positif terhadap cahaya dan
tertarik oleh sesuatu warna, misalnya oleh warna kuning atau hijau. Beberapa
jenis serangga diantaranya mempunyai ketertarikan tersendiri terhadap suatu
warna dan bau, misalnya terhadap warna-warna bunga. Akan tetapi ada juga yang
tidak menyukai bau tertentu (Natawigena, 1990).
d.
Angin
Angin
dapat berpengaruh secara langsung terhadap kelembaban dan proses penguapan
badan serangga dan juga berperan besar dalam penyebaran suatu serangga dari
tempat yang satu ke tempat lainnya. Baik memiliki ukuran sayap besar maupun
yang kecil, dapat membawa beberapa ratus meter di udara bahkan ribuan kilometer
(Natawigena, 1990).
e.
Makanan
Tersedianya
makanan baik kualitas yang cocok maupun kualitas yang cukup bagi serangga, akan
menyebabkan meningkatnya populasi serangga dengan cepat. Sebaliknya apabila
keadaan kekurangan makanan, maka populasi serangga dapat menurun.
Faktor Hayati / Bologi
Faktor hayati atau faktor
biologi berupa predator, parasit, potogen atau musuh-musuh alami bagi serangga.
a.
Predator
Predator yaitu binatang atau serangga yang memangsa binatang
atau serangga lain. Istilah predatisme adalah suatu bentuk simbiosis dari dua
individu yang salah satu diantara individu tersebut menyerang atau memakan
individu lainnya satu atau lebih spesies, untuk kepentingan hidupnya yang dapat
dilakukan dengan berulang-ulang. Individu yang diserang disebut mangsa.
b.
Parasit
Parasitisme adalah bentuk simbiosis dari dua individu yang
satu tinggal, berlindung atau maka di atau dari individu lainnya yang disebut
inang, selama hidupnya atau sebagian dari masa hidupnya. Bagi parasit, inang
adalah habitatnya sedangkan mangsa bagi predator bukan merupakan habitatnya,
selainitu pada umumnya parasit memerlukan suatu individu inang bagi
pertumbuhannya, apakah dalam jangka waktu sampai dewasa atau hanya sebagian
dari stadia hidupnya, sedangkan predator memerlukan beberapa mangsa selama
hidupnya. Predator pada umumnya lebih aktif dan mempunyai daur hidup yang lebih
panjang, sedangkan parasit tidak banyak bergerak, agak menetap dan cenderung
memiliki daur hidup yang pendek. Demikian pula ukuran tubuh predator lebih
besar bila dibandingkan dengan mangsanya, sedangkan parasit pada umumnya
memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil bila dibandingkan dengan inangnya
(Natawigena, 1990).
MANFAAT
SERANGGA BAGI MANUSIA DAN LINGKUNGAN
Dunia serangga sebagai kelompok binatang terbesar mempunyai
peran, arti dan fungsi yang sangat menentukan keberlangsungan kehidupan
manusia dan lingkungan di muka bumi.
Ordo Hexapoda atau bangsa Serangga merupakan kelompok
binatang yang terbesar di dunia, dengan jumlah spesies diperkirakan sebanyak
30-80 juta spesies yang meliputi sekitar 50% dari diversitas spesies di muka
bumi (Gullan and Cranston,2005). Jumlah spesies serangga yang sudah
teridentifikasikan sekitar 2-3 juta spesies, dengan segala bentuk dan
perilakunya yang beranekaragam. Serangga selalu mempengaruhi setiap kegiatan
manusia yang berupaya untuk meningkatkan kesejahteraannya melalui pembangunan
ekonomi, sosial, lingkungan dan budaya. Dimanapun dan kapanpun manusia hidup,
bergerak dan bertindak tidak dapat menghindarkan diri dari interaksi dengan dan
dipengaruhi oleh serangga. Berbagai sektor atau subsektor pembangunan ekonomi
yang tidak dapat dilepaskan dari interaksinya dengan serangga adalah
sektor-sektor lingkungan hidup, pertanian, kehutanan, perikanan, kesehatan,
industri dan parawisata.
Pengaruh serangga terhadap kehidupan manusia dapat positif,
yaitu membantu manusia tetapi dapat juga negatif, yaitu yang merugikan manusia.
Kalau kita lakukan analisis valuasi ekonomi secara benar akan didapat hasil
bahwa nilai ekonomi pengaruh positif atau manfaat serangga bagi manusia
jauh lebih besar daripada nilai ekonomi pengaruh negatif atau kerugian yang
diakibatkan oleh serangga. Namun masyarakat sudah terlanjur melihat serangga
hanya dari sisi negatif yang sangat merugikan kepentingan manusia sehingga
serangga lebih sering dianggap sebagai musuh manusia yang harus dibunuh dan
dimusnahkan.
SERANGGA
SEBAGAI BAHAN MAKANAN
Bagi manusia, seringkali serangga dianggap merugikan karena
menyebabkan hama tanaman pertanian. Namun, sebenarnya serangga dapat
dimanafaatkan bagi kepentingan manusia. Salah satu pemanfaatan serangga adalah
sumber makana. Di berbagai wilayah di dunia, seperti di Afrika, Australia,
Amerika Latin, dan Asia, serangga telah lama dikonsumsi sebagai makanan
tradisional. Pada masa kini, beberapa jenis serangga telah menjadi menu
istimewa bagi kalangan terpandang di Thailand, Jepang, dan Meksiko.
Dari Perkiraan 500 jenis serangga yang dimanfaatkan sebagai
bahan makanan, jenis serangga yang banyak di konsumsi antara lain belalang,
laron, jangkrik, lebah, semut, rayap, beberapa serangga air, dan berbagai jenis
ulat. belalang padi merupakan serangga yang paling banyak dikonsumsi di Jepang,
larva lebah banyak dikonsumsi di Thailand, dan larva semut banyak dikonsumsi di
Meksiko. Di Indonesia, masyarakatdi wilayah tertentu memanfaatkan serangga
seperti laron dan larva kumbang pohon kelapa sebagai bahan makanan.
Sebagai bahan makanan, serangga tergolong makanan yang
bergizi. Kandungan protein pada bahan makanan dari serangga sama dengan daging
ayam. Selain itu, serangga juga mengandung vitamin dan mineral.
Pemanfaatan serangga sebagai bahan makanan bergizi juga
memberikan beberapa keuntungan ekonomi dan ekologi. Dari aspek ekonomi,
pemanfaatan serangga sebagai makanan bagi manusia dapat mengisis peluang udaha
dengan prospek yang baik. Dari aspek ekologi, pencarian serangga sebagai bahan
makanan merupakan cara pengendalian hama tanaman yang menguntungkan lingkungan.
Dengan cara demikian, penggunaan insektisida dapat dikurangi
Prof. Dr. Ir. Dodi Nadika, pakar rayap IPB
menjadikan Cryptotermes cynocepphalus light (Rayap Kayu Kering = RKK)
sebagai permen. RKK mengandung protein yang cukup tinggi, sekitar 14.2 persen dari
bobot basah tubuh atau 55.7 persen dari bobot kering tubuh, karbohidrat 10.2
persen, dan lemak 25.2 persen terhadap bobot kering tubuh. Pembuatannya
dilakukan dari pekatan protein dicampur HFS (sirup fruktosa tinggi, dimasak
pada suhu 70-100 derajat celcius,
ditambahkan
gelatin, dilakukan proses penghilangan busa, pendinginan, dan pencetakan.
Penggemar lebah madu/tawon mengambil madu, lilin
tawon, susu madu, perekat lebah bernilai ekonomis, dan larvanya dengan cara
berburu di alam. Banyak warga mengkonsumsi larva, mencampurnya dengan gandum
seperti pembuatan bakwan yang digoreng (Rismunandar 1981).
Belalang dan jangkrik digemari penduduk Indonesia di
kawasan timur. Mereka memenggang atau menyangrainya, rasanya lembut dan segurih
udang.
Peluang
dan prospek memanfaatkan serangga sebagai sumber protein hewani sangat besar.
Dari hasil analisis ternyata berabgai jenis serangga mempunyai kandungan
protein dan lemak yang tinggi. Sebagai contoh,
laba-laba mengandung protein sebesar 64.3 persen dan lemak sebanyak
9.8
persen.
Pada kondisi krisis ekonomi saat ini, mengkonsumsi
serangga merupakan salah satu alternatif yang baik. Persoalannya, masih banyak
warga masyarakat kita belum terbiasa melakukannya. Penduduk pada beberapa kawasan
di Indonesia (seperti Irian) mengkonsumsi belalang sebagai sumber lauk
sehari-hari, namun tidak populer di kawasan lainnya. Maka perlu dimasyarakatkan
cara mengolah dan memasaknya untuk mendapatkan cita rasa yang nikmat. Dari
sudut pandangan agama, mengkonsumsi serangga bukan hal yang diharamkan. Prospek
pemanfaatn serangga terbuka luas. Kebutuhan konsumsi bisa ditingkatkan lewat
kampanye penyadaran sedang sedian serangga masih sangat besar dan biaya
investasi relatif sangat kecil. Serangga sangat mampu beradaptasi dengan
lingkungannya, pengelolaan relatif mudah, cukup dengan menggunakan teknologi
sederhana. Munculnya peluang wisata konsumsi makanan dari berbagai jenis
serangga adalah suatu keunggulan komparatif. Jangkrik dan semut dijadikan
sumber makanan protein hewani, selain sebagai pakan burung, ikan hias, udang,
umpan pancing, dan banyak spesies lainnya yang berguna bagi kehidupan.
SERANGGA
UNTUK PENYERBUKAN
Serangga
memiliki peran yang sangat penting, secara tidak sengaja polen atau serbuk sari
menempel dan terbawa pada tubuh serangga hingga polen tersebut menempel pada
kepala putik bunga lain dan terjadilah proses polinasi. Seperti yang
disampaikan oleh Satta et al., (1998) dalam laporannya bahwa lebah lokal
memiliki peranan penting pada proses polinasi dari bunga Sulla (Hedysarum
conorarium L.) di daerah Mediterania. Lebah lokal anggota ordo Apidae (A.
mellifera) dan ordo Anthoporidae (E. numida) mampu meningkatkan prosentase
terjadinya polinasi silang serta miningkatkan produksi biji tumbuhan sulla.
Williams I.H.(2002) juga menambahkan dalam laporannya bahwa lebih dari 140
spesies tanaman di Eropa, diuntungkan dengan adanya peran serta serangga dalam
proses penyerbukan atau polinasi. Lebah atau serangga jenis lain secara tidak
sengaja membawa pollen dari satu bunga ke bunga vlainnya,
sehingga sangat membantu proses polinasi.
Penyerbukan
yang dilakukan oleh serangga (entomophyli) dianggap sebagai dampak
sampingan dari kegiatan pencarian pakan berupa nektar dan pollen oleh serangga,
artinya kegiatan tanpa sengaja yang dilakukan oleh serangga. Lebah misalnya,
ketika sedang hinggap pada bunga untuk mendapatkan nektar dan pollen, secara
tidak sengaja memboyong serbuk-serbuk sari yang menempel pada korbikula-nya.
Jika ia hinggap pada bunga yang lain, serbuk sari tadi secara tidak sengaja
akan gugur dan jatuh ke dalam liang bunga betina, dan terjadilah penyerbukan
Manfaat serangga antara lain sebagai penyerbuk (pollinator)
andal untuk semua jenis tanaman. Di bidang pertanian serangga berperan membantu
meningkatkan produksi buah-buahan dan biji-bijian. Produksi buah-buahan dan
biji-bijian meningkat sebesar 40 % berkat bantuan serangga dengan kualitas yang
sangat bagus. Di Eropa dan Australia berkembang jasa penyewaan koloni serangga
untuk penyerbukan yang melepas kawanan lebah menjelang tanaman berbuah.
Menurut salah satu ahli anggrek Indonesia, Sutarni M
Soeryowinoto, warna anggrek menyebabkan daya tarik berbagai serangga untuk
datang. Tiap warna tertentu akan dikunjungi oleh jenis serangga tertentu pula.
Contohnya lebah, lebih menyukai bunga yang berwarna biru. Seekor lalat akan
menghampiri bunga yang berwarna putih, sedangkan kumbang lebih tertarik pada
warna kuning . Menurut dia, bau bunga yang khas dapat menarik serangga lainnya.
Seperti kupu-kupu yang mampu mencium dari jarak puluhan kilometer jauhnya.
Hadirnya berbagai jenis serangga pada tanaman yang sedang berbunga memberi manfaat
yang menguntungkan. Pada saat serangga hinggap di bunga dan menghisap sari
bunganya, maka terjadi proses penyerbukan. Penyerbukan itu terjadi secara alami
tanpa bantuan manusia.
SERANGGA SEBAGAI
PENGENDALIAN HAYATI
POPULASI GULMA
Pemakan (eater) merujuk pada aktivitas makan dari
serangga pada bagian-bagian tanaman, misalnya pada daun, di dalam batang, di
dalam polong, dan sebagainya. Menurut teori biologi, sama halnya dengan
organisme yang lain, mereka makan karena membutuhkan bahan-bahan tertentu bagi
upaya pelestarian keturunan (fungsi reproduksi), misalnya nitrogen. Pada
tataran selanjutnya, serangga herbivora ini menjadi pakan bagi serangga atau
organisme karnivora yang lain (insektivora). Nah, di sinilah serangga herbivora
menjadi untaian rantai makanan yang penting, yaitu menghubungkan antara
tumbuhan dan serangga karnivora. Jika sudah demikian, maka serangga pemakan
tumbuhan menjadi komponen yang penting dan harus ada! Itulah sebabnya, banyak
ahli konservasi yang menyatakan bahwa: herbivora harus tetap ada di alam,
paling tidak, sekadar untuk memberi makan musuh alami (salah satu hakikat
meng-konservasi musuh alami).
Pada peran inilah, serangga herbivora sering dianggap
menguntungkan bagi manusia, terutama jika dihubungkan dengan pengendalian
populasi gulma. Beberapa contoh serangga pemakan gulma misalnya lalat
Argentina, Procechidochares connexa dan ngengat Pareuchaetes
pseudoinsulata (pemakan Gulma Siam), ngengat Cactoblastis cactorum
pemakan Gulma Opuntia dan sebagainya. Tetapi jangan lupa, istilah gulma sendiri
sifatnya relatif, sehingga istilah “menguntungkan” atau “merugikan” juga
bersifat relatif.
Banyak jenis tanaman
asing (eksotik) yang masuk ke lokasi geografi baru tanpa disertai dengan musuh
alaminya. Tanpa kehadiran musuh alaminya, tanaman eksotik akan leluasa
mengkolonisasi habitat buatan dan/atau alami sehingga menjadi hama atau gulma
(tanaman pengganggu). Adalah tepat jika gulma didefinisikan sebagai tanaman
yang berada di tempat yang salah atau tanaman yang tidak diinginkan keberadaanya
di suatu tempat.
Agen pengendali hayati gulma yang paling sering digunakan
adalah serangga herbivor. Serangga herbivor dapat memakan berbagai bagian
tanaman. Serangga mungkin pula merusak tanaman dengan melubangi batang atau
akar ketika meletakkan telurnya. Serangga herbivor dapat pula mengendalikan
gulma dengan jalan mentransmisikan penyakit (patogen) tanaman.
Serangga herbivor yang digunakan sebagai agen pengendali
hayati harus spesifik, sehingga hanya menekan populasi gulma tanpa berpengaruh
buruk terhadap tanaman yang berguna.
Pengendalian
hayati kaktus Opuntia inermis dan O. stricta dengan menggunakan
ngengat Cactoblastis cactorum di Australia sekitar tahun 1926-1935
adalah satu di antara beberapa keberhasilan pengendalian hayati gulma dengan serangga
yang sangat spektakuler.
Keberhasilan
pengendalian hayati gulma di suatu tempat tidak selalu dapat diulangi di tempat
lain. Ngengat Cactoblastis, misalnya, ternyata kurang berhasil ketika
digunakan untuk mengendalikan kaktus Opuntia di Afrika Selatan.
SERANGGA PEMANGSA
- Secara umum, pemangsa didefinisikan sebagai makhluk hidup yang memakan makhluk hidup lainnya. Pemangsaan merupakan suatu cara hidup yang sumber makanannya diperoleh dengan menangkap, membunuh, dan memakan hewan lain.
- Pemangsa dari kelompok arthropoda terdiri atas sejumlah besar jenis serangga, ditambah dengan laba-laba dan tungau pemangsa. Di dunia ini diperkirakan ada sekitar 200.000 jenis pemangsa arthropoda, termasuk berbagai jenis laba-laba dan tungau pemangsa. Serangga pemangsa terdiri atas lebih dari 16 bangsa dan kurang lebih 2000 suku.
- Karakteristik umum serangga pemangsa:
- mengkonsumsi banyak individu mangsa selama hidupnya,
- umumnya berukuran sebesar atau relatif lebih besar daripada mangsanya,
- menjadi pemangsa ketika sebagai larva/nimfa, dewasa (jantan dan betina), atau keduanya,
- pemangsa menyerang mangsa dari semua tahap perkembangan,
- biasanya hidup bebas dan selalu bergerak,
- mangsa biasanya dimakan langsung,
- biasanya bersifat generalis,
- seringkali memiliki cara khusus untuk menangkap dan menaklukkan mangsanya.
- Beberapa bangsa serangga yang penting sebagai pemangsa dalam pengendalian alami dan hayati, antara lain adalah Coleoptera, Hemiptera, Neuroptera, dan Diptera. Kelompok pemangsa penting yang bukan serangga adalah laba-laba dan tungau pemangsa.
Pemilihan
Mangsa
Istilah-istilah yang sering dipakai untuk menggambarkan
kisaran mangsa adalah monofagus (pemakan satu jenis mangsa), oligofagus atau
stenofagus (pemakan beberapa jenis mangsa yang masih berkerabat), dan polifagus
(pemakan banyak jenis mangsa dari kelompok yang berbeda). Pemangsa monofagus
dan oligofagus disebut juga spesialis, sedangkan pemangsa polifagus disebut
generalis.
Di alam, lebih banyak ditemukan pemangsa polifagus atau
oligofagus daripada pemangsa monofagus. Kisaran hama yang sempit pada pemangsa
oligofagus sering kali didasarkan pada keterkaitan taksonomi mangsa.
Pengetahuan mengenai filogeni pemangsa dan mangsa sangatlah
penting untuk memahami kekhususan mangsa dan preferensi mangsa.
Tipe mangsa yang dimakan oleh pemangsa merupakan interaksi
dari berberapa faktor (fisiologi, perilaku, dan ekologi), yaitu:
- ketersediaan/kelimpahan relatif dari tipe mangsa yang khusus,
- perilaku pemangsa dalam mencari makan,
- kesesuaian nutrisi mangsa, dan
- risiko pemangsaan yang berasosiasi dengan upaya dalam memperoleh mangsa. Kecuali keempat faktor tersebut, perilaku oviposisi betina berperan penting dalam menentukan mangsa yang tersedia untuk larvanya.
Secara tradisional perilaku pemilihan mangsa atau inang
dibagi menjadi empat komponen yang sering kali digabungkan bersama, yaitu
penentuan lokasi habitat mangsa, penentuan lokasi mangsa, penerimaan mangsa,
dan kesesuaian hama. Dalam proses pemilihan mangsa, umumnya pemangsa
menggunakan kombinasi pertanda fisik (penglihatan dan sentuhan) dan pertanda
kimiawi (bau dan rasa).
Senyawa kimia semio (semiochemical) adalah senyawa
kimia yang digunakan sebagai media komunikasi makhluk hidup, terdiri atas
feromon (pheromone) dan senyawa kimia allelo (allelochemical).
Feromon digunakan untuk komunikasi intraspesifik, sedangkan senyawa kimia
allelo digunakan untuk komunikasi interspesifik. Senyawa allelo disebut
kairomon (kairomone) jika yang menerima pesan memperoleh keuntungan dan
disebut alomon (allomone) jika yang memberi pesan memperoleh keuntungan
dan penerima menderita kerugian. Kecuali itu, ada sinomon (synomone)
yang menguntungkan pemberi dan penerima pesan, serta apneumon (apneumone)
yang dikeluarkan oleh materi tidak hidup dan menguntungkan penerimanya.
Di samping pertanda visual, senyawa volatil kairomon dan
sinomon (sebagai pertanda kimia) juga merupakan pemikat bagi kehadiran
jenis-jenis pemangsa tertentu di habitat mangsanya.
Untuk beberapa jenis pemangsa, penentuan lokasi mangsa
menggunakan pertanda berupa campuran sinergis senyawa-senyawa yang dihasilkan
baik oleh tanaman maupun mangsa.
Probabilitas sejenis mangsa untuk diterima oleh pemangsa
tergantung pada kualitas jenis mangsa lain yang ada di lingkungannya. Kisaran
hama yang diserang akan lebih sempit apabila hama berkualitas tinggi
kelimpahanya tinggi dan melebar jika kelimpahannya rendah. Pemangsa yang sudah
menerima mangsa mungkin akan melanjutkan dengan memakannya sebagai sumber
energi untuk perkembangan dan reproduksinya. Namun, jika mangsa tidak sesuai
karena kualitas nutrisinya rendah, pemangsa akan menolaknya atau terus
melanjutkan makannya tetapi dengan konsekuensi yang buruk.
Beberapa karakteristik musuh alami, termasuk pemangsa, yang
diinginkan untuk keberhasilan pengendalian hayati adalah sebagai berikut:
- memiliki kemampuan mencari yang baik,
- memiliki kekhususan mangsa/inang,
- memiliki laju reproduksi yang tinggi,
- memiliki kemampuan adaptasi yang baik di habitat mangsa/inang,
- memiliki daur hidup yang sinkron dengan mangsa/inang,
- memiliki kemudahan untuk diperbanyak.
SERANGGA
FORENSIK
Pengertian forensik adalah aplikasi metode-metode dan teknik
keilmuan untuk menginvestigasi kejahatan (kriminal) (Concise Oxford English
Dictionary, 2005). Entomologi forensik adalah pemanfaatan serangga untuk
menginvestigasi sebuah kejahatan. Dalam hal ini, teknik yang digunakan adalah
mengidentifikasi jenis-jenis serangga pemakan bangkai (disebut nekrofagus)
yang muncul pada korban kejahatan (baca mayat). Kemampuan serangga
sebagai perombak bahan organik, termasuk mayat manusia, dimanfaatkan di dalam
bidang kedokteran forensik untuk mengetahui waktu kematian mayat (Postmortem
Period Investigation, PMI) (Goff, 2003).
Menurut catatan sejarah, bangsa Cina sudah mulai
mengembangkan teknik pemeriksaan mayat menggunakan serangga (blow fly,
famili Calliphoridae, ordo Diptera) pada abad ke-12 (Benecke, 2001). Pada
perkembangannya, kelompok-kelompok serangga nekrofagus yang banyak digunakan
untuk mengidentifikasi umur mayat berasal dari ordo Diptera, Coleoptera,
Hymenoptera (terutama semut), dan beberapa Lepidoptera (Jiron & Cartin,
1981). Serangga-serangga tersebut diklaim dapat menentukan waktu kematian mayat
dengan sangat pas, bahkan melebihi teknik lain.
Penelitian Jiron dan Cartin (1981) pada bangkai anjing
menjelaskan bahwa kelompok-kelompok serangga tertentu akan muncul pada
tahap-tahap pembusukan bangkai. Pada tahap pertama, disebut discoloration
stage (berlangsung selama kurang lebih 3-4 hari), muncul serangga semut (Camponotus
sp.), lalat muscoid, lalat sarcophagid, lalat drosophilid, dan banyak
lalat calliphorid (Phaenicia eximia). Pada tahap berikut, disebut emphysematic
stage (berlangsung mulai hari keempat sampai ke-8). Pada tahap ini muncul
serangga P. eximia dalam jumlah besar, kumbang histerid, Euspilotus
aenicollis, beberapa kumbang scarabid, dan beberapa lalat muscoid. Tahap
berikut disebut liquefaction yang berlangsung pada hari ke-8 sampai
ke-28. Pada tahap ini serangga yang datang paling melimpah adalah dua spesies
lalat calliphorid, yaitu P. eximia dan Hemilucilia segmentaria,
lalat piophilid, kumbang staphylinid, histerid, Dermaptera, tawon ichneumonid,
lipas, lebah (genus Trigona) dan dua famili ngengat (pyralid dan
noctuid). Tahap yang terakhir adalah mummified, yang didominasi oleh kumbang
dermestid. Meskipun demikian, teknik ini juga mempunyai kelemahan yang cukup
mendasar, yaitu sangat tergantung dari keadaan cuaca, misalnya suhu,
kelembaban, dan curah hujan, atau oleh perlakuan manusia, yang secara langsung
akan menentukan proses dekomposisi yang menjadi dasar kehadiran
serangga-serangga tersebut (Goff, 2003).
SERANGGA SEBAGAI DEKOMPOSER
Serangga
juga berperan sebagai organisme perombak (dekomposer) yang mendegradasi kayu
yang tumbang, ranting, daun yang jatuh, hewan yang mati dan sisa kotoran hewan.
Jenis-jenis seperti rayap, semut, kumbang, kecoa hutan dan lalat akan merombak
bahan organik menjadi bahan anorganik yang berfungsi untuk regenerasi dan
penyubur tanaman. Serangga juga berperan sebagai pengendali fitofagus (serangga
hama bagi tanaman), sehingga tercipta keseimbangan alam yang permanen di dalam
ekosistem hutan. Jika proses dalam rantai makanan itu terjaga maka dinamika
ekosistem hutanpun akan stabil.
Dari segi pengelolaan hutan, peranan serangga perlu
diarahkan kepada pendugaan seberapa jauh serangga tertentu atau dalam hubungan
simbiose yang seperti apakah sehingga serangga mempunyai peran sebagai spesies
indikator, untuk memprediksi tingkat kepunahan spesies lain atau perubahan
mikro lingkungan, habitat maupun ekosistem tertentu.
Dekomposer Serangga memeliki peranan yang sangat penting dalam proses
dekomposisi terutama di tanah. Kotoran atau feases dari hewan dapat
mengakibatkan pencemaran terhadap padang rumput. Tinja sapi yang dibiarkan di permukaan
tanah dapat mematikan atau memperlambat pertumbuhan tanaman rumput, serta menyebabkan
tanaman di sekitarnya kurang disukai ternak sapi. Selain itu kotoran
atau tinja tersebut dapat pula
sebagai tempat meletakan telur bagi vektor pembawa penyakit, dan merupakan
tempat hidup bagi larva parasit pada saluran pencernaan ruminansia. Namun dengan
keberadaan beberapa spesies kumbang pendekomposisi tinja, maka hal tersebut
dapat diminimalisir (Shahabuddin, et al., 2005). Kumbang yang bersifat
dekomposer biasanya merupakan anggota dari ordo Coleoptera, dan famili Scarabaeidae, yang lebih dikenal sebagai
kumbang tinja. Kumbang ini memiliki perilaku makan dan reproduksi yang
dilakukan di sekitar tinja, dengan demikian kumbang tinja sangat membantu dalam
menyebarkan dan menguraikan tinja sehingga tidak menumpuk di suatu tempat.
Aktifitas ini secara umum berpengaruh terhadap struktur tanah dan siklus hara
sehingga juga berpengaruh terhadap tumbuhan disekitarnya. Dengan membenamkan
tinja, kumbang dapat memperbaiki kesuburan dan aerasi tanah, serta meningkatkan
laju siklus nutrisi. Dekomposisi tinja
pada permukaan tanah, oleh kumbang tinja menyebabkan penurunan pH tanah setelah
9 minggu dan meningkatkan kadar nitrogen, yodium, fosfor, magnesium, dan
kalsium sampai 42-56 hari setelah peletakan tinja
SERANGGA
SEBAGAI SPESIES INDIKATOR
Dalam bidang konservasi alam dan manajemen lanskap, struktur
dan fungsi dari alam dan lanskap dapat dicirikan dengan bantuan dari
indikator-indikator. Suatu bidang khusus yang dimaksud adalah bioindikator :
organisme-organisme yang fungsi-fungsi kehidupannya dapat dikaitkan dengan
faktor-faktor lingkungan tertentu secara sangat dekat sehingga kemudian ia
dapat digunakan sebagai indikasi bagi mereka (Ellenberg et al. 1991 dalam
Bastian & Steinhardt, 2002). Indikasi ini dapat disadari dengan kehadiran
atau ketidakhadiran dari spesies tertentu atau oleh ciri-ciri spesifik seperti
bentuk kehidupan dan bentuk pertumbuhan (perilaku), ritme kehidupan
(phenology), kelimpahan, spektrum spesies, juga oleh keanehan-keanehan
material.
Tumbuhan dan hewan menjadi indikator yang baik dalam
penelitian lanskap, sebagai misal dalam mengukur kualitas udara, air dan tanah,
dan dalam mendeteksi polusi dan perubahan lanskap. Bioindikasi kemudian
memungkinkan untuk memperkirakan pengaruh total dari suatu keragaman dari
efek-efek non spesifik yang merusak dan mengilustrasikannya untuk area-area
yang lebih besar.
Perilaku ekologis dari spesies tumbuhan dalam lanskap tidak
identik dengan keadaan fisiologis puncaknya. Prinsip relatifitas dalam ekologi
berarti bahwa pentingnya ekologis dari faktor satu tempat untuk suatu organisme
(tumbuhan, hewan, manusia) tidak tergantung hanya pada tingkatnya sendiri
(kualitas) dan pengembangan, tapi dari situasi ekologis secara keseluruhan,
yakni dari semua faktor yang mempengaruhi makhluk hidup ini. Dengan demikian,
validitas dari nilai-nilai indikator dapat dibatasi pada komunitas atau wilayah
(tumbuhan) tertentu. Bahkan di Eropa Tengah pun, perilaku ekologis dan
sosiologis dari tumbuhan sering bermacam-macam antara lanskap yang mengarahkan
pada pentingnya pengkhususan nilai-nilai indikator.
Selain itu, heterogenitas ekologis dari banyak spesies
sebaiknya dipertimbangkan seringnya
“ekotipe” yang bermacam dapat dibedakan. Suatu kesulitan yang lebih adalah
reaksi lambat dari banyak spesies pada perubahan habitat. (Dahmen dan Simon,
1997 dalam Bastian & Steinhardt, 2002).
Bagaimanapun, terdapat banyak aspek-aspek kritis dan
pembatasan, khususnya yang disebabkan oleh masalah-masalah metodologis dan
kurangnya pengetahuan. Rintangan yang serius yang diakibatkan dari mobilitas
hewan, valensi ekologis mereka yang bermacam-macam dan sering tidak diketahui,
jumlah yang tidak terbatas dari spesies, suatu eksistensi yang tersembunyi
menyebabkan observasi pada banyak spesies hanya terjadi dalam periode pendek
dan dengan studi berongkos mahal. (Bastian & Steinhardt, 2002).
Kurang lebih 1 juta spesies serangga telah dideskripsi
(dikenal dalam ilmu pengetahuan), dan hal ini merupakan petunjuk bahwa serangga
merupakan mahluk hidup yang mendominasi bumi. Diperkirakan masih ada sekitar 10
juta spesies serangga yang belum dideskripsi. Peranan serangga sangat besar
dalam menguraikan bahan-bahan tanaman dan binatang dalam rantai makanan
ekosistem dan sebagai bahan makanan mahluk hidup lain. Serangga memiliki
kemampuan luar biasa dalam beradaptasi dengan keadaan lingkungan yang ekstrem,
seperti di padang pasir dan Antarktika. Walaupun ukuran badan serangga relatif
kecil dibandingkan dengan vertebrata, kuantitasnya yang demikian besar
menyebabkan serangga sangat berperan dalam biodiversity (keanekaragaman
bentuk hidup) dan dalam siklus energi dalam suatu habitat. Ukuran tubuh
serangga bervariasi dari mikroskopis (seperti Thysanoptera, berbagai macam kutu
dan lain-lain.) sampai yang besar seperti walang kayu, kupu-kupu gajah dan
sebagainya.
Dalam suatu habitat di hutan hujan tropika diperkirakan,
dengan hanya memperhitungkan serangga sosial (jenis-jenis semut, lebah dan
rayap), peranannya dalam siklus energi adalah 4 kali peranan jenis-jenis
vertebrata. Serangga juga memiliki keanekaragaman luar biasa dalam ukuran,
bentuk dan perilaku. Kesuksesan eksistensi kehidupan serangga di bumi ini
diduga berkaitan erat dengan rangka luar (eksoskeleton) yang
dimilikinya, yaitu kulitnya yang juga merangkap sebagai rangka penunjang
tubuhnya, dan ukurannya yang relatif kecil serta kemampuan terbang sebagian
besar jenis serangga. Ukuran badannya yang relatif kecil menyebabkan kebutuhan
makannya juga relatif sedikit dan lebih mudah memperoleh perlindungan terhadap
serangan musuhnya. Serangga juga memiliki kemampuan bereproduksi lebih besar
dalam waktu singkat, dan keragaman genetik yang lebih besar. Dengan
kemampuannya untuk beradaptasi, menyebabkan banyak jenis serangga merupakan
hama tanaman budidaya, yang mampu dengan cepat mengembangkan sifat resistensi
terhadap insektisida.
Dengan mengenal serangga terutama biologi dan perilakunya
maka diharapkan akan efisien manusia mengendalikan kehidupan serangga yang
merugikan ini. Keanekaragaman yang tinggi dalam sifat-sifat morfologi,
fisiologi dan perilaku adaptasi dalam lingkungannya, dan demikian banyaknya
jenis serangga yang terdapat di muka bumi, menyebabkan banyak kajian ilmu
pengetahuan, baik yang murni maupun terapan, menggunakan serangga sebagai
model. Kajian dinamika populasi misalnya, bertumpu pada perkembangan populasi
serangga. Demikian pula, pola, kajian ekologi, ekosistem dan habitat mengambil
serangga sebagai model untuk mengembangkannya ke spesies-spesies lain dan dalam
skala yang lebih besar.(Tarumingkeng, 2001).
Bioindikator Serangga merupakan hewan yang sangat sensitif
/ responsif terhadap perubahan atau
tekanan pada suatu ekosisitem dimana ia
hidup. Penggunaan serangga sebagai
bioindikator kondisi lingkungan atau ekosisitem yang ditempatinya telah lama
dilakukan. Jenis serangga ini mulai
banyak diteliti karena bermanfaat untuk mengetahui kondisi kesehatan suatu
ekosistem. Serangga akuatik selama ini
paling banyak digunakan untuk
mengetahui kondisi pencemaran air pada
suatu daerah, diantaranya adalah beberapa spesies serangga dari ordo
Ephemeroptera, Diptera, Trichoptera dan
Plecoptera yang kelimpahan atau kehadirannya mengindikasikan bahwa lingkungan
tersebut telah tercemar, karena serangga ini tidak dapat hidup pada habitat
yang sudah tercemar. Adapun untuk
serangga daratan (‘terrestrial insect’)
studi sejenis telah banyak dilakukan pada
berbagai kawasan hutan diberbagai negera termasuk di kawasan hutan tropis
(Shahabuddin, 2003). Ditambahkan oleh
Wardhani (2007) dalam laporannya bahwa, larva Odonta juga berpotensi sebagai bioindikator pencemaran air, karena
larva ini sangat sensitif terhadap perubahan kualitas air. Bila kualitas air sungai sebagai habitatnya
tercemar, maka larva odonata akan mati.
Dari segi pengelolaan hutan, peranan serangga perlu
diarahkan kepada pendugaan seberapa jauh serangga tertentu atau dalam hubungan
simbiose yang seperti apakah sehingga serangga mempunyai peran sebagai spesies
indikator, untuk memprediksi tingkat kepunahan spesies lain atau perubahan
mikro lingkungan, habitat maupun ekosistem tertentu. Penggunaan bioindikator
akhir-akhir ini dirasakan semakin penting dengan tujuan utama untuk
menggambarkan adanya keterkaitan antara faktor biotik dan abiotik lingkungan.
Bioindikator (Indikator biologi) adalah jenis atau populasi tumbuhan,
hewan dan mikroorganisme yang kehadiran, vitalitas dan responnya akan berubah
karena pengaruh kondisi lingkungan. Setiap jenis akan memberikan respon
terhadap perubahan lingkungan tergantung dari stimulasi (rangsangan) yang
diterimanya. Respon yang diberikan mengindikasikan perubahan dan tingkat
pencemaran yang terjadi di lingkungan tersebut dimana respon yang diberikan
dapat bersifat sangat sensitif, sensitif atau resisten (Speight et.al.,
1999).
McGeoch (1998) dalam Shahabuddin, 2003 menyatakan
bioindikator atau indikator ekologis adalah taksa atau kelompok organsime yang
sensitif atau dapat memperlihatkan gejala dengan cepat terhadap tekanan
lingkungan akibat aktifitas manusia atau akibat kerusakan sistem biotik.
Pearson
(1994) membagi indikator biologi atas tiga yakni :
1. Jenis indikator, dimana kehadiran atau
ketidakhadirannya mengindikasikan terjadinya perubahan di lingkungan tersebut.
Jenis yang mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan lingkungan (Stanoecious)
sangat tepat digolongkan sebagai jenis indikator. Apabila kehadiran, distribusi
serta kelimpahannya tinggi maka jenis tersebut merupakan indikator positif,
sebaliknya ketidakhadiran atau hilangnya jenis tersebut merupakan indikator
negatif
- Jenis monitoring, mengindikasikan adanya polutan di lingkungan baik kuantitas maupun kualitasnya. Jenis Monitoring bersifat sensitif dan rentan terhadap berbagai polutan, sehingga sangat cocok untuk menunjukan kondisi yang akut dan kronis.
- Jenis uji, adalah jenis yang dipakai untuk mengetahui pengaruh polutan tertentu di alam.
Penggunaan
serangga sebagai indikator kondisi lingkungan atau ekosistem yang ditempatinya
telah lama dilakukan. Jenis serangga mulai banyak diteliti karena bermanfaat
untuk mengetahui kondisi kesehatan suatu ekosistem. Serangga akuatik selama ini
paling banyak digunakan untuk mengetahui kondisi pencemaran air pada suatu
daerah, diantaranya adalah beberapa spesies serangga dari ordo Ephemeroptera,
Odonata, Diptera, Trichoptera , Plecoptera,Coleoptera,family Scarabidae ,
Cicindeliadae, Carabidae(Spellerberg,1995). Adapun untuk serangga daratan
(‘terrestrial insect’) studi sejenis telah banyak dilakukan pada berbagai
kawasan hutan di berbagai negera termasuk di kawasan hutan tropis.
Mengingat banyaknya jenis serangga yang ada dibumi ini, maka
studi terhadap serangga bioindikator kondisi hutan lebih banyak difokuskan pada
kelompok serangga tertentu. Diantara taksa yang banyak digunakan sebagai
biodindikator tersebut adalah famili Scarabidae, Cicindeliadae dan Carabidae
dari ordo Coleoptera, beberapa spesies dari Ordo Hymenoptera dan Lepidoptera,
serta serangga dari kelompok rayap atau Isoptera (Jones and Eggleton, 2000
dalam Shahabudin, 2003).
Alfaro dan Singh (1997) melaporkan bahwa kelimpahan
invertebrata (yang didominasi oleh serangga) pada kanopi hutan umumnya lebih
tinggi pada hutan-hutan yang belum rusak yang menunjukkan bahwa mereka
merupakan bioindikator yang ideal terhadap kesehatan hutan. Hilszczanski (1997)
menggunakan keanekaragaman kumbang (Coleoptera) dari kelompok trofik yang
berbeda sebagai indikator atas efek jangka panjang aplikasi insektisida pada
ekosistem hutan. (Culotta 1996, dalam Alfaro & Singh, 1997)
melaporkan bahwa biodiversitas yang tinggi menyebabkan ekosistem lebih resisten
terhadap serangan penyakit dan penyebab kerusakan hutan lainnya yang menurunkan
produktivtas primer ekosistem. Sebaliknya, kehilangan biodiversitas menyebabkan
tidak stabilnya ekosistem hutan.
Peran serangga sebagai bioindikator ekosistem hutan telah
didemonstrasikan dengan baik oleh Klein (1989) yang menguji peran kumbang bubuk
dari ordo Coleopterafamili Scarabidae terhadap dekomposisi kotoran hewan pada
habitat yang berbeda yakni hutan alami, hutan terfragmentasi dan padang rumput
(bekas hutan tebangan) di Amazon bagian Tengah (Central Amazon ).
Laju penguraian kotoran hewan menurun sekitar 60 % di hutan alam dibandingkan
padang rumput. Meskipun kelimpahan kumbang bubuk pada ketiga habitat tersebut
tidak berbeda nyata namun terjadi penurunan sekitar 80 % jumlah jenis kumbang
bubuk di padang rumput. Hal ini menegaskan bahwa setiap jenis kumbang bubuk
memiliki peran yang cukup penting dibandingkan jenis lainnya sehingga semakin
tinggi biodiversitas kumbang bubuk dan serangga lainnya menunjukan kestabilan
ekosistem hutan yang semakin mantap.
Kumbang bubuk banyak digunakan dalam studi bioindikator terhadap
tingkat kerusakan hutan karena mereka memiliki peran ekologis yang penting
dalam ekosistem hutan tropis. Kumbang ini bersama dengan serangga lainnya
merupakan organisme dekomposer yang sangat penting, sehingga menentukan
ketersediaan unsur hara bagi vegetasi hutan. Mereka juga terlibat dalam
penyebaran biji-biji tumbuhan dan pengendalian parasit vertebrata (dengan
menghilangkan sumber infeksi). Distribusi lokal dari kumbang bubuk sangat
dipengaruhi oleh tingkat naungan vegetasi dan tipe tanah. Selain itu struktur
fisik habitat menjadi faktor penting yang mempengaruhi komposisi dan distribusi
kumbang bubuk (Davis et al. 2001). Oleh karena itu kelompok serangga ini
merupakan indikator yang berguna untuk menggambarkan perbedaan struktur (bentuk
arsitek, abiotik) antara habitat. Jadi berbeda dengan serangga lainnya yang
menggambarkan perbedaan floristik (Komposisi spesies,biotik) suatu habitat
melalui spesialisasi herbivora (seperti pada ngengat dan kupu - kupu).
Studi awal oleh
Sahabuddin (2003) menunjukkan adanya pengaruh tata guna lahan terhadap
keanekaragaman kumbang bubuk pada pinggiran hutan yang terletak di dataran
tinggi (diatas 100 mdpl). Ditemukan adanya indikasi bahwa spesies kumbang bubuk
tertentu dari genus Onthopagus relatif toleran terhadap adanya kerusakan
habitat sehingga potensi diusulkan sebagai salah satu spesies indikator.
Meskipun demikian hal masih perlu dikaji lebih jauh terutama dengan melakukan
penelitian yang sejenis pada hutan hujan tropis di dataran rendah. Hal ini
sesuai dengan Weaver (1995) bahwa untuk melihat sejauh mana potensi suatu
organisme sebagai bioindikator diperlukan pengambilan sampel secara berulang
pada kondisi lingkungan yang sama tetapi pada tempat dan musim yang berbeda.
Kelimpahan invertebrata (yang didominasi oleh serangga) pada kanopi hutan
umumnya lebih tinggi pada hutan-hutan yang belum rusak yang menunjukkan bahwa
mereka merupakan bioindikator terhadap kesehatan hutan (Alfaro dan Singh,
1997).
KESIMPULAN
Serangga bertugas menguraikan bahan-bahan tanaman dan
binatang dalam rantai makanan. Bahan-bahan tersebut nantinya menjadi makanan
bagi makhluk hidup lain. Mereka juga bertugas sebagai pengurai (dekomposer)
yang menguraikan kayu yang tumbang, ranting, daun yang jatuh, serta hewan yang
mati dan sisa kotoran hewan. Bahan organik yang terurai tadi akan menjadi bahan
anorganik, yang berfungsi untuk menyuburkan tanaman.
Jumlahnya yang mendominasi bumi, membuat serangga berperan
memperkaya keanekaragaman bentuk hidup (biodiversity).
Serangga bekerja dalam proses penyerbukan tanaman. Mereka
adalah penyerbuk yang bisa diandalkan untuk berbagai jenis tanaman. Akibat
kerja serangga ini, produksi buah-buahan dan biji-bijian bisa meningkat.
Apalagi, jika kualitas serangganya baik.
Dalam ekosistem dan
habitat, serangga memiliki peran sebagai spesies indikator untuk memprediksi
tingkat kepunahan spesies lain dan perubahan dalam ekosistem/ habitat tersebut.
Bang tolong di bagi penjelasan tentang penjelasan serangga yang hidup di DARAT lw bisa yg leng kap YO :)
BalasHapusboleh minta daftar pustaka nya gak ?
BalasHapusBlog yang sangat bagus sekali
BalasHapusJudi Tembak Ikan Online Deposit Linkaja
BalasHapusPromo Spesial :
★ Bonus 100% Win Beruntun 8x, 9x, 10x
★ Bonus Deposit Pertama 10%
★ Bonus Deposit Setiap Hari 5%
★ Bonus Cashback Mingguan 5% - 10%
★ Bonus Referral 7% + 2%
★ Bonus Rollingan 0,5% + 0,7%
Link Pendaftaran »» Klik»» https://bit.ly/3b2Tnq7
Kontak WhatsApp »» Klik»» Klik Link : https://bit.ly/aktif24jam
Link Layanan Live Chat (24 Jam Online) »» Klik»» https://bit.ly/2VD8fER